Tempe adalah makanan khas Indonsia yang sangat populer dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Hasil fermentasi kedelai dengan menggunakan jamur kapang Rhizopus oligosporus ini merupakan makanan yang sering disepelekan oleh banyak orang. Padahal, tempe memiliki banyak nutrisi dan bisa bermanfaat untuk kesehatan tubuh.
Menurut penelitian, selain bernutrisi tinggi, tempe juga menjadi bahan makanan yang sangat cocok untuk lauk pauk. Tempe bisa diolah menjadi makanan yang lezat dan bergizi. Dibalik lezatnya tempe, ternyata ada beberapa fakta yang tidak banyak orang tahu. Dilansir dari berbagai sumber, berikut ini adalah fakta tentang tempe yang tidak banyak orang tahu.
Asal mula nama tempe diduga berasal dari bahasa Jawa kuno. Zaman dahulu, ada makanan yang bernama tumpi dimana berwarna putih seperti tempe. Tetapi tumpi terbuat dari tepung sagu, kemudian nama tumpi diubah menjadi tempe yang dibuat dengan bahan dasar kedelai.
Tempe adalah makanan yang sudah berumur ratusan tahun. Bahkan tempe ditemukan pada kitab Jawa Kuno yang bernama Serat Centhini, tempe sempat menjadi makanan eksklusif yang hanya bisa dikonsumsi oleh anggota kerajaan di Indonesia, pada abad ke-18 silam.
Tempe dijual di Indonesia dengan harga yang sangar murah, dan semua orang bisa membeli dan mengolahnya. Tetapi di luar negeri, tempe dijual dengan harga yang mahal. Seperti di Australia, tempe dijual dengan harga AUD 15 atau sama dengan Rp. 150.000 untuk satu kemasan ukuran sedang.
Tempe dijual di Indonesia dengan harga yang sangar murah, dan semua orang bisa membeli dan mengolahnya. Tetapi di luar negeri, tempe dijual dengan harga yang mahal. Seperti di Australia, tempe dijual dengan harga AUD 15 atau sama dengan Rp. 150.000 untuk satu kemasan ukuran sedang. Tempe dan tahu yang sama- sama terbuat dari kedelai, tetapi tempe lebih sehat dari tahu.
Hal ini karena tempe terbuat dari kedelai utuh sehingga kandungan gizinya pun utuh. Sedangkan tahu terbuat dari sari kedelai yang dihaluskan, sehingga membuat nilai gizinya menurun. Selain itu, tempe juga lebih sehat dari daging, beberapa penelitian menemukan bahwa kandungan protein pada tempe lebih tinggi daripada daging.
Penemuan tempe berhubungan erat dengan produksi tahu di Jawa, karena keduanya dibuat dari kacang kedelai. Tahu sendiri dibawa oleh orang Tiongkok ke Jawa, yang mungkin sudah ada sejak abad ke-l7. “Bukan hanya bahannya yang sama, akan tetapi mungkin juga secara langsung penemuan tempe berkaitan dengan produksi tahu,” tulis Ong.
“Tempe muncul dari kedelai buangan pabrik tahu yang kemudian dihinggapi kapang. Kemudian jadi tempe kedelai,” kata wartawan spesialis sejarah pangan, Andreas Maryoto. “Ini saya kaitkan karena tempe yang lain berasal dari limbah: tempe gembus dari limbah kacang, tempe bongkrek dari limbah kelapa. Bila kemudian tempe kedelai dari kedelai bukan limbah, mungkin itu upgrade saja,” sambungnya.
Ong kemudian mengaitkan perkembangan tempe dengan kepadatan penduduk, baik di Tiongkok maupun di Jawa. Kepadatan penduduk sejak berabad-abad telah mempengaruhi seni masak Tiongkok. Akibat kepadatan penduduk terjadi persaingan ruang antara manusia dan hewan yang memerlukan ladang-ladang rumput luas bagi hidupnya. Akibatnya, seni masak Tiongkok berkisar pada hewan peliharaan rumah seperti babi, ayam, bebek, dan sebagainya.
Keadaan itu tidak jauh berbeda dengan Jawa. Pekarangan menyediakan bahan baku makanan seperti ayam, kambing, sayur-sayuran, pohon kelapa, dan lain-lain. “Baru dalam abad ke-l9, menu hewani akhirnya berubah menjadi tempe. Ini akibat kenaikan jumlah penduduk yang amat tinggi pada abad ke-19, sehingga Pulau Jawa menjadi wilayah pertama yang sangat padat di Asia Tenggara,” tulis Ong.
Di sisi lain, lanjut Ong, meluasnya perkebunan kolonial membuat wilayah hutan menciut dan membuat para petani sebagai kulinya, mengurangi berburu, beternak maupun memancing. Dampaknya, menu makanan orang Jawa yang tanpa daging. Tanam paksa makin membuat bahan makanan seperti tempe menjadi sangat vital sebagai penyelamat kesehatan penduduk.
“Bisa dikatakan,” tulis Ong, “penemuan tempe adalah sumbangan Jawa pada seni masak dunia. Sayangnya, seperti halnya banyak penemuan makanan sebelum zaman paten, maka penemu tempe pun anonim,” lanjutnya.
Ditilik dari muasal katanya, menurut Astuti, tempe bukan berasal dari bahasa Tiongkok, tapi bahasa Jawa kuno, yakni tumpi, makanan berwarna putih yang dibuat dari tepung sagu, dan tempe berwarna putih. Kata tempe juga ditemukan dalam Serat Centhini jilid ketiga, yang menggambarkan perjalanan Cebolang dari candi Prambanan menuju Pajang, mampir di dusun Tembayat wilayah Kabupaten Klaten dan dijamu makan siang oleh Pangeran Bayat dengan lauk seadanya: “…brambang jae santen tempe … asem sambel lethokan …” sambel lethok dibuat dengan bahan dasar tempe yang telah mengalami fermentasi lanjut. Pada jilid 12 kedelai dan tempe disebut bersamaan: “…kadhele tempe srundengan…”
“Tempe berasal dari kata Nusantara tape, yang mengandung arti fermentasi, dan wadah besar tempat produk fermentasi disebut tempayan,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia.
Menurut Ong, dalam Encyclopaedia van Nederlandsch Indie (1922), tempe disebut sebagai “kue” yang terbuat dari kacang kedelai melalui proses peragian dan merupakan makanan kerakyatan (volk′s voedsel).
Disebut makanan kerakyatan, kata Maryoto, karena tempe diciptakan oleh rakyat, bukan istana. “Karena itu, muncul istilah ‘bangsa tempe’, sebagai bentuk stigmatisasi dari kalangan priyayi,” ujar Maryoto. “Sekarang tempe tidak lagi sebagai makanan rakyat,” Maryoto menambahkan. “Pamor tempe semakin terangkat ketika gairah kuliner meningkat, sehingga tempe manjadi makanan kita semua.”